Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

DINDING PUISI 240

Gambar
DINDING PUISI 240 Gila juga malam ini. Tiba-tiba saya langsung bikin komentar atas sebuah tulisan bertema Enny Arrow di media sosial facebook. Enny Arrow adalah penulis stensilan porno yang sangat populer di tahun 80-90an. Benar, ketebalannya sekitar 40an halaman. Disebut porno karena tidak sekadar mengandung cerita seks yang terbuka, vulgar, apalagi sekadar disebut cerita dewasa, tetapi sebenar-benarnya eksploitasi cerita seks dengan menghalalkan segala cara. Meskipun tanpa adegan pemerkosaan dan tindak kriminal lainnya. Karena kecenderungannya dilakukan suka sama suka. Sama sekali saya masabodoh pada siapa penulisnya? Baru setelah selesai berkomentar mencoba menengok pemilik akunnya. "Siapa sih?", demikian gumam saya. Inilah komentar saya pada status facebook tersebut: "Saya menduga Enny Arrow adalah nama yang tidak penting. Demikian pun Penerbit Mawar adalah penerbit yang tidak penting. Bahkan tema dan jalan cerita pada buku itu semuanya serba gak penting. Artinya apa

DINDING PUISI 239

Gambar
DINDING PUISI 239 Kalau ulama yang sekaligus wakil presiden KH. Ma'ruf Amin juga berkomentar tentang sisi positif K-Pop, apa salahnya? Yang dibisik-bisik kan masalah gak enaknya. Kyai ini terlalu kaku teknik mengkomunikasinya sehingga dianggap sangat canggung dan tidak menguasai duduk persoalannya. Tapi yang terpenting, secara formal proses komunikasinya masih ke arah mencerahkan.  Benar pertanyaannya, kalau fenomena K-Pop sampai berhasil menerabas bursa musik tanah air, apa untungnya bagi Indonesia ---khususnya bagi senibudaya Indonesia--- ke Korea, atau bagi ketertarikan masyarakat Korea ke Indonesia? Pertanyaan serupa tentu pernah kita diskusikan, ketika belakangan marak bermunculan grup haiku di media sosial dan marak penerbitan buku haiku karya para penulis Indonesia, apa keuntungannya bagi wewangian sastra Indonesia di negri Sakura sana sebagai negri asal puisi pendek haiku? Serta bagaimana apresiasi-balik dari masyarakat sastra Jepang terhadap sastra Indonesia?  Secara sindi

DINDING PUISI 238

Gambar
DINDING PUISI 238 Saya emang menulis puisi JANGAN TAKUT MATI DI KONTRAKAN. Tentu bukan sebuah pesimisme, sebab bagi orang cerdas dan bijak ngontrak pun sikap optimis, bukan pula sikap nantang-nantangin semisal salah guna dari prinsip JANGAN TAKUT MATI DI LAUT. Sebenarnya judul ini judul yang lucu, sesuatu daya tarik yang kadang saya butuhkan dalam proses kreatif. Padahal ada juga judul yang sepadan dengan itu yang jauh terdengar lebih W O W, misalnya JANGAN TAKUT MATI DI DESA. Memberi tanpa menghiba-hiba adalah bijaksananya penyair. Lagi-lagi seperti onani kalau kita bicara kerja kepenyairan sebagai tema puisi. Tapi tetap dibutuhkan. Sudah dari awal penyair terpanggil untuk menyuarakan sesuatu. Ia khas, berbakat, punya pengaruh, dan tahu kerja sastra, kerja puisi. Maka kata-katanya selalu memberi. Berkesadaran, berkesaksian dan mencerahkan. Sekali lagi, seumpama ia teriak pencemaran kali, tanpa dibarengi sikap menghiba-hiba akan dapat hadiah apa ia dari teriakannya itu?  Ini puisi saya

DINDING PUISI 237

Gambar
DINDING PUISI 237 Rina Heryani, penulis di Cimahi kemarin nulis pertanyaan pendek di akun FB-nya.  Model pertanyaan pendek seperti yang ditulis juga oleh para penulis lain. Kali ini dia bertanya, "Apakah literasi menurut anda?" Saya fikir pertanyaan yang bagus, terlepas apakah sebenarnya sedang bertanya untuk suatu maksud tertentu atau sekadar bikin 'ulah baik' di media sosial. Depan pertanyaan ini saya teringat tahun 1994 ketika Sigit Kamseno didampingi Idrus Alkaf dalam Diklat Kepenyiaran #RRI di Bandung bertanya kepada saya dkk, apa pengertian musik menurut anda? Bagi saya ini diklat kesekian kalinya, karena saat itu saya sudah beberapa kali mengikuti diklat kepenyiaran dan jurnalistik radio PRSSNI.  Lalu saya komentari spontan dan seperlunya tulisan Rina Heryani itu, "Wah. Siang dengan pertanyaan yang menarik. Seperti buah berkilau embun pada tangkai yang rimbun. Ketika angin ngahiliwir lembut. Literasi sesungguhnya adalah proses memahami hidup, lewat catatan

DINDlNG PUISI 236

Gambar
DINDING PUISI 236 "Judulnya gak akan diubah, Bang?", pertanyaan dari penerbit. "Jangan, itu sudah pas, biar sisi khususnya agak tebal, biar dibaca praktisi dan mahasiswa komunikasi, jurnalistik, dan keradioan", jawab saya. Ini satu contoh saja dari berjuta komunikasi efektif penulis/editor dengan pihak penerbit. Contoh kalimat lain ketika saya yang kontek duluan untuk buku lain, "Judul-judul di tiap halamannya pake kapital tegak aja ya. Trus gimana kalau di halaman belakang pake foto penulis dan istrinya? Bukunya kan nyambung. Beberapa penulis dunia begitu. Oke kan?".  Dalam dunia penerbitan buku sastra selain sejak awal pihak penerbit bisa menunjukkan otoritasnya, ada juga penerbit yang memberi keleluasaan kepada penulis/editor. Terutama untuk hal-hal yang menunjukkan daya ekspresi dari sebuah proses kreatif. Bukan dari sisi formalitas prosedur penerbitan buku.  Kalau suatu ketika anda merasa kebebasannya dalam banyak hal terampas oleh penerbit tertentu,

DINDING PUISI 235

Gambar
DINDING PUISI 235 Bolehkah sebuah proses kreatif penerbitan buku antologi puisi membatasi usia peserta atau usia penulis yang jadi kontributor? Tentu saja ini bagian integral dari proses kreatif. Ini bisa mengingatkan kita pada lomba atau festival teater remaja. Seluruh pemainnya remaja, usia 14-19 tahun. Padahal tokoh atau karakter yang muncul di pentas ada bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan kakek-nenek. Kenyataannya mereka tidak perlu mencari-cari pemeran yang sudah dewasa atau tua.  Dalam lomba baca-tulis puisi pun pembatasan usia sudah dianggap lazim. Ada lomba tingkat SD yang kadang dipecah dua, tingkat kelas 1, 2, 3 dan tingkat kelas 4, 5, 6, ada tingkat SMP, tingkat SMA,  dan katagori peserta dewasa-umum.  Dalam antologi puisi, tentu gak bisa disalahkan kalau komunitas semisal Lumbung Puisi atau Cannadrama, atau grup-grup media sosial mengumpulkan karya dari para penulis yang berusia di atas usia 50 tahun lalu dilabeli, antologi puisi master. Atau antologi puisi 40 kalau usia minimal

DINDING PUISI 234

Gambar
DINDING PUISI 234 Beruntung penyair itu punya beberapa sebutan yang melekat. Sebutan ini sekaligus parameter untuk mengetahui apakah seseorang pribadi benar-benar puisi, benar-benar penyair atau bukan? Beberapa sebutan itu di antaranya adalah: 1. INTELEKTUAL Sebutan ini biasanya menunjuk ke arah predikat penyair yang cerdas, jeli, tajam, terpercaya, humanis, perenung, dan bagi agamanya ia adalah pemeluk teguh itu. Biasa disebut juga, guru kehidupan. Sikap dan kata-katanya kesaksian dan kesadaran penuh yang mencerahkan. Meskipun pada bagian tertentu bisa terlihat ganjil atau nyeleneh, termasuk seperti urakan. Sungguhpun disebut-sebut tidak semua hal harus dijelaskan, tetapi dalil itu sudah didahului oleh hak hidup untuk menjelaskannya sedetil-detilnya. Sebab pada hakekatnya, menurut prinsip kecerdasan sosial intekektualitas itu adalah tingkat kesalehan seseorang. Karena itu, musuh penyair yang terbesar adalah penyair gadungan dalam dirinya seperti yang dimaksud dalam kitab suci, karena

DINDING PUISI 233

Gambar
DINDING PUISI 233 Anda mungkin pernah nonton dan dengar ribut kecil yang penting gak penting di ruang sidang yang ditayangkan televisi. Ada yang bilang, "Si Anu itu sudah menyelesaikan 12 buku, kalau Si Fulan baru nulis 8 buku". Padahal bukan di situ pokok persoalannya. Bukan jumlah buku. Tapi tingkat kepakaran dan kredibilitasnya. Intelektualitasnya. Meskipun ada data juga yang menunjukkan dari sejak pemikir masa silam, banyaknya buku yang ditulis ternyata menunjukkan tingkat kepakaran seseorang. Artinya, harus dilihat siapa dan seperti apa tulisannya.  Di dunia penyair pun tidak perlu heran. Ada penulis buku sastra yang bukunya sudah mencapai puluhan, tetapi ia harus jujur nempercayai daya pikat penyair yang cuma punya 3-4 buku antologi puisi. Ada yang delu-elukan karena tingkat kualitas puisinya terpercaya. Ada yang dielu-elukan karena popularitasnya. Baik karena karya puisinya, daya pikat apresiasi sastranya, media di belakangnya, atau kegilaannya. Apalagi dia sedang vira

ngopi puisi SELUAS KEBUN JAGUNG

Gambar
SELUAS KEBUN JAGUNG lelaki tua yang hidup di kebun jagung  mengajak satu-satu, anak, cucu dan teman-temannya sesuai ketepatan waktunya  ke istana gubuk yang umurnya lebih tua dari mereka berdinding anyaman bambu dan papan beratap genteng tanah sambil membakar singkong atau jagung selalu dinasehatkan apa saja yang katanya, alamat-alamat pada peta yang bisa ditelusuri nanti agar anak-anak wangi singkong dan jagung disambut malaikat-malaikat yang merunduk pada saatnya, katanya sampai ke tujuh puluh negarapun kau pergi aku akan tetap di sini  dan kau cuma bisa memutari gubuk ini  itu sebabnya kupesankan, jangan jahat pada sesama manusia sebab seluruhnya bersaudara sekandung itulah sebab syair dan lagu punya kerja, katanya dipanggil Allah untuk bersuara merdu atau lantang tentang keselamatan manusia masa depan  dan tragedi-tragedi masa lalunya ---- meskipun kau mulai khianat dan muak pada puisi dan nyanyiannya  meskipun penguasa pada jamanmu  ada yang menentangnya sebab Allah akan segera me

ngopi puisi LENGGANG KANGKUNG

Gambar
LENGGANG KANGKUNG menari gunung tubuhmu molek syair di balik daun menyibak musik yang dibawa laju sepanjang jalan desa ke kota  sulur pelangi menciumi wangi ladang pada curah air pancuran mencuci muka, tangan dan kaki memang penyerahan diri paling rindu paling cinta dan langit begitu dekat begitu rapat setelah dibelai angin rambut kau ikat  syetan pun sekarat jalan-jalan setapak pada lereng tiap jengkalnya hangat sajak kanan kirinya barisan tanaman sayur yang tumbuh dari embun subuh baik, kali ini kau bidadari satu di bawah matahari tujuh warna  yang tidak tersesat karena selendangnya dicuri  cuma menggenapi peristiwa bumi Kemayoran, 27 07 2019 ------ *) Puisi Gilang Teguh Pambudi, dari antologi puisi Sayur Mayur, penerbit Artikata. #NgopiPuisi #NgopiPuisi032  #PuisiGilangTeguhPambudi

ngopi puisi PANGLIMA BESAR

Gambar
PANGLIMA BESAR Akulah Dirman Pemuda Muhammadiyah Yang tidak cuma karena Muhammadiyah Angkat senjata, maju perang Memimpin para pejuang Tapi satu kata dengan Bung Karno Demi kemerdekaan Indonesia Akulah Dirman Selamanya guru ngaji Yang tidak cuma karena penduduk muslim Pasang badan, pasang nyawa Dalam pertempuran terdepan Tapi satu kata dengan para pendiri bangsa Demi menjaga keutuhan Republik Indonesia Akulah Dirman Hanya hidup dalam kalian Yang menjunjung kemuliaan hargadiri Dan kedaulatan bangsa Kemayoran, 25 10 2019 *) Puisi Gilang Teguh Pambudi, dari antologi Tak Sekadar Nama, puisi terpilih terbaik Penerbit Ahsyara #NgopiPuisi #NgopiPuisi031 #PuisiGilangTeguhPambudi

ngopi puisi 9 NALIKAN DUNIA TUMBUH

Gambar
9 NALIKAN DUNIA TUMBUH 1. NALIKA kulempar sauh dari dunia tumbuh 2. DUNIA dunia tumbuh di kedalaman jiwa 3. JIWA jiwaku malam terang cahaya hidup 4. CAHAYA cahaya terang saum Ramadan kita 5. KEMULIAAN titian lurus bulat cahaya bumi 6. SEMESTA kureguk rindu cinta semesta insan 7. ANGGUR RAMADAN sepetik dawai anggur Ramadan tumpah 8. MANUSIA SEPERTIGA MALAM melarung rasa di sepertiga akhir 9. HALAL SYAWAL kusentuh bulan membentang halal Syawal ----- *) Nalikan adalah puisi pendek empat baris dengan pola bunyi/sukukata 3-2-5-2 (1,2,3,4,5,6,7,8,9). Rentetan angka yang mengandung pesan, "kesaksian dan kesungguh-sungguhan menyemai kebaikan yang berkeadilan dalam kehidupan sehari-hari". 3 = zikrullah/tarekat/kesungguh-sungguhan,  2 = syareat/kemuliaan/mengulang-ulang kebaikan hidup,  5 = penengah/hakekat berkeadilan. *) Puisi Gilang Teguh Pambudi, dari antologi puisi bersama Ramadan Kareem, penerbit Penebar Media Pustaka. #NgopiPuisi #NgopiPuisi030 #PuisiGilangTeguhPambudi

ngopi puisi KEMBANG GANYONG

Gambar
KEMBANG GANYONG  anak-anak jumpet silem*)  beberapa yang ketahuan nungging belakang kembang ganyong mulutnya monyong-monyong  ngomel sambil ketawa-tawa sampai aku ngerti maunya  pelestarian permainan tradisional  sampai slalu ingat  apa semua yang suka tawuran itu  gak apal bunga tasbih   semarak meski dimaki kurang wangi? Kemayoran, 15 12 2018 *) Jumpet silem = Permainan sembunyi-sembunyian. Biasanya sang penjaga menghitung sampai sepuluh atau sesuai kesepakatan sebelum mencari teman-temannya yang sembunyi tapi tidak sembunyi. ------- *) Puisi Gilang Teguh Pambudi, dari antologi bersama Sampah, penerbit Penebar Media Pustaka #NgopiPuisi #NgopiPuisi029 #PuisiGilangTeguhPambudi

ngopi puisi AKU MAU BACA SAJAK

Gambar
AKU MAU BACA SAJAK aku mau baca sajak di bening matamu rasa di panggung kemanusiaan antara duka dan bahagia sedih yang mengiris dan berbagi ceria yang surga aku mau baca sajak di kedip matamu dalam rasa ihlas yang agung antara penyerahan dan kepasrahan persembahan syukur  dan perjalanan jiwa yang kembali aku mau baca sajak dari tatapan matamu ke seluruh penjuru alamat peta dekat peta jauh ketika yang dekat lekat menyelamatkan yang jauh selalu di ujung pandang keimanan aku mau memuisi di kelopak matamu berenang-renang mengaji peradaban bersenandung kasih dan rindu yang menghadirkan wajah diri telapak tangan dan kaki perbuatan kasih sayang dan cinta membara   keselamatan dan kesentausaan Kemayoran, 04 12 2019 *) Puisi Gilang Teguh Pambudi, dari antologi Aksara Aurora #NgopiPuisi #NgopiPuisi028 #PuisiGilangTeguhPambudi

ngopi puisi ADAB NAIK PERAHU

Gambar
ADAB NAIK PERAHU ayo naik perahu menelusuri panjang sungai atau menikmati pantai sebab di dalam rumah perahu ada cerita rakyat yang panjang berantai ada surban dan mahkota yang dialamatkan kita menyibak air hidup menembus angin harapan berpayung langit firmanNya ayo ke sini, naik perahu seminggu sekali setahun sekali atau sesekali yang akan terasa setiap hari sebab kita tidak cuma seperti bertualang tetapi menikmati adab yang dialirkan Kemayoran, 01 07 2019 *) Puisi Gilang Teguh Pambudi, dari buku antologi puisi Mendaki Langit (ML), penerbit J-Maestro. #NgopiPuisi #NgopiPuisi027  #PuisiGilangTeguhPambudi

RENUNGAN ANAK PUNAI

Gambar
Menyakitkan. Ketenangan yang bodoh itu seperti anak punai dicium elang. Ciuman pertama serupa cinta induknya. Sukacita di dalam maut. Sangat menyakitkan. Bahkan srigala pecundang pun bisa teriak-teriak mengingatkan. Tapi apa daya anak punai. Kemayoran, 12 09 2017 pukul 17:43 

DINDING PUISI 231

Gambar
DINDING PUISI 231 Bolehlah dalam beberapa kali kita berfikir, apakah puisi yang akan kutulis sudah ditulis orang lain? Sebab hidup ini seperti berbagi. Dari seluruh penjuru, tempat merapat berjuta kalimat. Sebab tiang pancang Mesjid Demak itu kesatuan dari alamat-alamat. Tegaknya Monumen Nasional itu penerimaan prokmasi di seluruh penjuru Nusantara. Kesatuan suku bangsa yang "bhineka tunggal ika". Kita ingin saling melengkapi dengan pesan dan warisan paling sakti, agar tak ada yang terlewati apalagi tersakiti. Kita urun rembug di seluruh media. Kalau sudah ada yang meneriakkan dan sudah terdengar jelas, mengapa kita tidak berangkat dari kesaksian dan kesaadaran lain, untuk sesuatu yang lain, yang tidak sekadar ingin beda, tetapi wajib diteriakkan sama lantangnya?  Sementara di kali lain, kita mesti saling menguatkan saja untuk suatu tema yang sama. Sebab itu bagian dari bergotong-royong menguatkan suatu gagasan, atau menguatkan daya ledak popularitasnya. Agar menyadarkan selu

DINDING PUISI 230

Gambar
DINDING PUISI 230 Ada gak sih adab makan, ngemil, dan minum kopi sambil baca buku puisi atau buku sastra pada umumnya? Ha! Kita punya tema ringan yang super seru lagi. Bagaimana pula kalau hal serupa dilakukan sambil nulis puisi di laptop ---dulu pake mesin ketik? Ok. Kita mulai dari dua kebiasaan umum yang menarik. Pertama. Di dunia kerja, ternyata sebagian karyawan lebih memilih langsung berangkat kerja daripada kesiangan. Soal sarapan biasa diatur nanti. Yang penting sudah minum teh hangat, atau minimal air putih, katanya. Sebelum masuk kantor biasanya mereka belok dulu ke warung makan, atau langsung ke kantor tapi buru-buru menuju kantin, kecuali yang sudah bekel sarapan dari rumah. Lalu bersegeralah mereka menunaikan perintah perut, sarapan. Di sinilah drama ini dimulai. Karena jam tangan belum menunjukkan jam kerja, maka ia tak mau diperkosa kerja. Ia lebih memilih memanjakan privasinya. Dengan apa? Sarapan sambil pegang koran, majalah, buku puisi, atau buka-buka media sosial. In

DINDING PUISI 229

Gambar
DINDING PUISI 229 Mendadak saya bikin komentar yang terbilang aneh, bahkan dipaksa sedikit njelimet meskipun pendekatannya ringan-ringan saja. Karena mengomentari maraknya gambar avatar, gambar diri versi kartun yang tiba-tiba menguasai awal September di media sosial. Saya menulis begini, "Ketika perang gambar terjadi di masa kanak-kanak dulu, kita akan merasa sebagai 'anak revolusi' yang diwakili oleh satu gambar yang berani bertarung. Yang dibela adalah, hak untuk menang. Karena gak ketahuan siapa pahlawan dan siapa penjahatnya? Atau seperti dalam latihan militer. Yang sedang jadi lawan anggap saja musuh atau penjahat. Asal bukan semacam rangsangan untuk menghalalkan kekerasan.  Yang main lain, setiap diri diwakili lebih dari satu gambar. Misalnya 5:5. Setelah diterbangkan ke langit tinggi tinggal lihat di lantai, yang gambarnya terbuka milik yang melempar. Yang gambarnya tertutup akan dilempar lagi oleh teman kita. Terus bergantian sampai abis.  Semakin maju, dunia gamb

DINDING PUISI 228

Gambar
DINDING PUISI 228 Seru! Seru! Seru! Setelah dulu marak gaya menulis status cukup dengan satu kata, misalnya, "pusing", "pulang", "wow", dst. Ada gaya seru yang minggu ini muncul di satus FB. Yaitu yang sengaja menulis pertanyaan untuk sekedar menemani pembaca yang sedang males tanya jawab, yang lagi gak ada gagasan, atau justru menemani pembaca yang sedang antusias seantusias pertanyaan itu. Setidaknya tiga pertanyaan yang saya temui dalam sehari kemarin bisa saya contohkan. Pertama, lebih penting mana puisi dan penghasilan? Kedua, apa bedanya penyair dan sastrawan? Dan ketiga, bolehkah dalam lomba baca puisi sebagian puisinya seperti disenandungkan atau dilagukan?  Seru! Masabodoh yang bikin pertanyaan sedang niat nanya atau tidak, tetapi gaya nulis status di dinding medsos yang demikian ini menarik. Apalagi karena berkaitan dengan kesusastraan.  Kalau diangkat ke siaran Apresiasi Sastra di #radio pertanyaan-pertanyaan semodel ini akan terasa renyah, ring

DINDING PUISI 227

Gambar
DINDING PUISI 227  Logika aja, Bung. Siapa yang pernah nulis sesuatu di media sosial, lalu setelah beberapa saat diubah hurufnya yang salah ketik atau diganti kata-katanya yang dirasa kurang pas? Wajar kan? Ada juga yang pernah menulis opini sedikit panjang, tetapi setelah dirasa-rasa bakal kontroversial, maka dilakukan perubahan. Wajar kan? Bahkan ada juga yang mengubah tulisannya setelah mendapat protes sana-sisi seraya minta maaf. Masih bagus bukan?   Yang paling tidak fair itu kalau ada seseorang yang tulisannya diprotes karena meresahkan, kemudian ia berkelit, "Saya tidak pernah menulis begitu. Itu bohong". Padahal itu setelah ia meralatnya. Meskipun jejak digital bisa mengejarnya.  Akhirnya saya merasa punya semacam kata pengantar singkat untuk menjawab pertanyaan saya di medsos FB awal September kemarin:  "EDISI PUISI REVISI  Boleh gak puisi yang sudah terbit, yang sudah disosialisasikan, diubah tipografi atau beberapa katanya pada suatu terbitan baru? Monggo konc

DINDING PUISI 226

Gambar
DINDING PUISI 226 Merinding, meremang airmata, atau terbangkitkan daya hidup di depan pembacaan puisi tidak selalu karena kata, "ayolah!" atau, "marilah!" Meskipun pada momen tertentu kata-kata semisal itu memang ditunggu. Mengapa? Sebab puisi, misalnya pada nyawa airmata, ia mesti merasuk dengan sendirinya, dengan sangat normal, logis, menyentuh sisi paling asasi pada sir kemanusiaan. Pada sirullah menurut makrifatullah.  Memang tidak keliru adanya manajemen airmata. Yang alamiah, bagaimana kita survife mengatasi airmata yang bisa tiba-tiba hadir dalam hidup kita. Kedua, airmata yang direkayasa untuk pencerahan hidup. Semisal pemain teater yang menafsir pesan naskah, untuk mempekerjakan suasana berairmata demi tercapainya maksud-maksud, tidak sekadar membangun puncak-puncak. Sekali lagi mempekerjakan airmata untuk maksud baik.  Pada penyair dan puisi hal itupun nyata-nyata sangat kuat. Ada pengalaman airmata yang menginspirasi untuk ditulis sehingga tulisannya itu

DINDING PUISI 225

Gambar
DINDING PUISI 225  "Wah, definisi sajak pendek nih Pak (?). Setidaknya kurang dari keumuman satu bait 4 baris atau larik". Begitu saya mengomentari catatan Cunong Nunuk Suraja di akun FB-nya. Lalu ditanggapinya: "Gilang Teguh Pambudi, dari wujudnya kalau sudah lebih dari 4 baris terasa lebih panjang dan biasanya sudah lebih dari 10 kata". Dan saya balas, "Ya, setidaknya sebuah gagasan untuk proses kreatif berpuisi pendek Indonesia. Menggenapi kelengkapan pendapat tentang definisi puisi pendek Indonesia itu. Jangan sampai ada yang terlewatkan. ❤". Pada tulisannya yang berjudul, HUJAN DI BULAN AGUSTUS BANGKIT ANGIN KEMARAU MENDAYUNG AWAN, guru Bahasa Inggris saya waktu di SPGN Kota Sukabumi itu menulis: "Sajak pendek berarti kurang dari empat baris bahkan ada yang terbatasi jumlah kata ataupun suku kata semisal haiku dari Jepang atau gurindam dan karmina untuk puisi lama Indonesia. Sajak pendek bukan berarti miskin imajinasi maupun pesan yang mau disamp